MAKALAH MUHAMMAD ABDUH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama akhir zaman, dimana kesempurnaan dan kebenarannya
diterima oleh Allah SWT. Kehadirannya dalam sejarah membawa perubahan dan kemajuan
besar bagi adab dan budaya umat manusia karena ia menganjurkan agar setiap kaum
selalu berusaha untuk mengubah nasibnya.[1]
Di awal perkembangannya sewaktu nabi Muhammad SAW., masih ada dan
pengikutnya baru terbatas pada bangsa Arab yang terpusat di Makkah dan Madinah,
dia diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya sama berkata “kami
telah mendengar dan kami taat”.[2]
Akan tetapi, perjalanan
sejarahnya selama kurun waktu empat abad yang sudah dilaluinya dan bergerak
oleh watak aslinya yang membawa dan menganjurkan perubahan itu, setiap mencapai
suatu daerah atau memasuki suatu bangsa, ia terpaksa dihadapkan dengan tradisi
asli daerah dan suku bangsa tersebut dalam segala bentuk dan aspeknya.
Perhadapan muka ini telah menimbulkan aksi dan reaksi, membuahkan berbagai hal dan
peristiwa, sebanyak yang positif ada juga yang negatifnya.
Sebenarnya Tajdid
atau Pembaharuan dapat ditelusuri latar belakangnya yang dapat dilihat
dalam beberapa faktor, yaitu faktor politik, sosial, budaya dan ilmu
pengetahuan. Dalam sejarah pembaharuan terdapat beberapa tokoh yang cukup
terkenal yaitu, Muhammad Abduh. Dimana pikiran-pikirannya cukup besar
pengaruhnya terhadap pembaharuan di dalam Islam dan Dunia Islam.
Muhammad Abduh adalah seorang tokoh salaf, tetapi tidak menghambakan diri pada teks-teks
agama. Ia memegangi teks-teks agama tapi dalam hal ini ia juga menghargai akal.
Ia terkenal
sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras
untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis
dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam.
Kemudian, berdasarkan pandangan sejarah tampak jelas bahwa aktivitas
ijtihad memang diakui keberadaannya dalam setiap generasi. Kredibilitas hasil
ijtihad senantiasa tidaksama antara mujtahid yang satu dengan yang lainnya,
tergantung pada kemampuan individu atau kelompok serta kondisi menyeluruh yang
melingkupi mujtahid. Hal ini tampak jelas dalam bidang-bidang yang sudah
dihasilkan.[3]
B.
Rumusan Masalah
Dalam kaitannya dengan makalah ini,
maka penulis merumuskan masalah terkait dengan Pemikiran Muhammad Abduh
yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana Riwayat Hidup Tentang Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana Pemikiran Kalam Muhammad Abduh?
3.
Bagaimana Pengaruh Pemikiran Muhammad Abduh Di Dunia Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh termasuk keluarga petani sedang. Ayahnya bernama Abduh
Chairullah, penduduk kampung Nasr, daerah Subrakhit, dari propinsi Buhairah
(Mesir bawah). Karena tindakan-tindakan penguasa negerinya, ia (ayahnya
meninggalkan kampung halamannya, untuk menuju propinsi Gharbiah, dan disana ia
menikah dengan Junainah, seorang wanita terpandang dikalangan familinya,
sebagaimana dengan Abduh Chairullah sendiri seorang yang terpandang. Dari
Junainah tersebut lahirlah seorang anak laki-laki pada tahun 1849 M, dan diberi
nama Muhammad Abduh.[4]
Setelah tinggal di propinsi Gharbiah, Abduh Chairullah dengan keluarganya
pulang ke kampung halamannya yang semula, dimana Ia kemudian kawin lagi dengan
seorang wanita lain, dan dari istri ini pun lahir anak-anaknya.
Dengan demikian, maka Syekh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah yang
didiami oleh banyak istri dan anak-anak yang berlainan ibunya. Keadaan rumah
tangga yang semacam ini besar pengaruhnya terhadap pikiran-pikiran Syekh
Muhammad Abduh tentang perbaikan masyarakat Mesir.[5]
Kemudian Pada tahun 1862, Syekh Muhammad Abduh belajar agama di masjid
Syekh Ahmad di Thanta. Semula ia sangat enggan belajar, tetapi karena dorongan
dari paman ayahnya Syekh Darwis Khadar, Muhammad Abduh Akhirnya dapat
menyelesaikan pelajarannya di Thanta.[6]
Pada tahun berikutnya, Ia pergi ke Kairo dan terus menuju ke masjid Al
Azhar, untuk hidup menjadi sebagai seorang sufi, akan tetapi kemudian kehidupan
ini ditinggalkan, karena anjuran pamannya itu pula.[7]
Pada tahun 1872 M, Syekh Muhammad Abduh berhubungan dengan Jamaluddin
al-Afghani, untuk kemudian menjadi muridnya yang setia. Karena pengaruh gurunya
tersebut, ia terjun ke dalam bidang kewartawanan (surat kabar) pada tahun 1876
M. Setelah menamatkan pelajaran di Al Azhar, dengan mendapat ijazah “Alimiyyah”
ia diangkat menjadi guru di Darul ‘Ulum. Akan tetapi karena sebab yang
tidak diketahuinya, ia dibebaskan dari jabatannya itu dan dikirim ke kampung
halamannya, sedangkan Jalaluddin sendiri di usir dari Mesir. Pada tahun 1880 M,
Syekh Muhammad Abduh dipanggil oleh kabinet partai Liberal (bebas-Ahrar) untuk
diserahi kepala jabatan surat kabar “al- Waqai’ ul-Misriyah” dan karena
pimpinannya yang baik dalam surat kabar tersebut ia menjadi perbincangan banyak
orang.[8]
Meskipun tujuan Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh adalah sama,
yaitu pembaharuan masyrakat Islam, namun cara untuk menjcapai tujuannya itu
berbeda. Kalau yang pertama menghendaki revolusi, maka yang kedua memandang
bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan
mental secara berangsur-angsur.
Pemberontakan Irabi Pasya di Mesir telah mengakhiri kegiatan Syekh Muahmmad
Abduh, karena pada akhir tahun 1882 M, Ia diusir dari Mesir. Karena itu ia
pergi pertama-tama ke Bairut kemudian pada awal tahun 1884 M, ia pergi ke
Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin al-Afghani.[9]
Kemudian di Perancis Syekh
Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani mendirikan organisasi yang kemudian
juga mereka menerbitkan majalah Al-urabi Wusqa, yang anggotanya adalah
orang-orang militan dari India, mesir Syiria dan Afrika Utara, dan mendorong
umat islam mencapai kemajuan. Perkumpulan urwatul wusqa menerbitkan Al-Urwatul
Wusqa yang berhaluan keras terhadap pemerintah penjajah barat. Akhirnya majalah
itu tidak boleh beredar di Prancis.[10]
Pada tahun 1885, ia pergi ke Bairut dan mengajar di sana. Di Bairut
kegiatannya dialihkan kepada bidang pendidikan dan ia mulai mengajar
serta mendalami ilmu-ilmu keislaman dan Arab-an. Diantara hasilnya ialah buku
ar-Raddu ‘alad Dahriyyin (bantahan terhadap orang-orang materialistis) pada
tahun 1886 M, terjemahan dari buku berbahasa Persi karangan Jalaluddin
al-Afghani, dan buku Syahrul Balaghah pada tahun 1885 M, kemudian Syarah
Manamat Badi’ az Zaman al-Hamazani pada tahun 1889 M.[11]
Kemudian pada akhirnya, atas bantuan teman-temannya, di
antaranya seorang Iggris, pada tahun 1888 ia kemudian diizinkan pulang ke
Kairo. Di sini, ia kemudian diangkat sebagai hakim pada Pengadilan Negeri di
kota Banha (ibu kota propinsi Qalyubiah), kemudian pindah ke Pengadilan Negeri
Zaqaziq Negeri Abidin (dalam kota Kairo). Dua tahun kemudian ia di angkat
menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (pengadilan Banding Mahkamah
al Isti’naf-Courd’ Appel.
Di antara hasil pekerjaanya dalam bidang Pengadilan Agama
(al-Mahkamah as-Syar’iah), yang dirangkum dalam bukunya “Taqrir fi Ishlahil
Mahakimis Syar’iah”.
Kemudian pada tahun 1899, ia diangkat sebagai mufti Mesir
dan jabatan ini diemban sampai ia meninggal pada tahun 1905 dalam usia kurang
lebih 56 tahun.[12] Pada tahun itu juga (1899
M), ia menjadi anggota Dewan Perundang-undangan Parlemen yang merupakan fase
permulaan kehidupan parlementer di Mesir.
Pada tahun 1894 M, ia
menjadi anggota pimpinan tertinggi Al Azhar (Council Superior) yang
dibentuk berdasarkan anjurannya, dan disini (Al Azhar) yang mana beliau telah
banyak memberikan kontribusi bagi pembaharuan di Mesir. Dan juga Syekh Muhammad
Abduh bukan hanya mengadakan pembaharuan-pembaharuan tetapi ia juga aktif
memberikan pelajaran.
Pada musim panas tahun
1903 M, ia pergi ke Inggris. Kali ini bukan untuk maksud-maksud politik,
melainkan khusus untuk mengadakan tukar pikiran dengan filosof Inggris yang
terkenal yaitu Herbert Spencer (1820-1903). Sungguhpun pertemuan ini tidak
berlangsung lama, karena kesehatan Spencer tidak mengizinkan, namun pertemuan
ini telah meniggalkan kesan yang mendalam pada Syekh Muhammad Abduh.[13]
B.
Pemikiran Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh
adalah termasuk pembaharu agama dan sosial di Mesir pada zaman modern. Dialah
penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam
dengan tuntutan zaman modern. Walaupun pada saat itu ia diserang oleh
orang-orang yang memandang bahwa pembaharuan dan pendapat-pendapatnya
membahayakan kaum Muslim (penentangan yang dilakukan sebelum pembaharuan ini
dilaksanakan), musuh-musuhnya sendiri sangat diragukankebersihan niat mereka,
dan kebersihan pribadinya, dan pembelaan terhadap agama ini.[14]
Dia yakin bahwa apabila
al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum Muslimin akan membaik. Menurutnya, apabila
al-Azhar ingin diperbaiki, pembenahan administrasi dan pendidikan di dalamnya
pun harus dibenahi, kurikulum diperluas, mencakup sebagian ilmu-ilmu modern,
sehingga al-Azhar bisa berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain di
Eropa, dan menjadi pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.[15]
Menurut Muhammad Abduh ada empat segi-segi yang pokok
terkait dengan pemikiran pembaharuannya, yaitu sebagai berikut.[16]
a. Politik dan Ketanah-airan,
b. Kemasyarakatan,
c. Aqidah,
d. Pendidikan dan Bimbingan Umum.
A.
Segi Politik dan
Ketanah-Airarn
1.
Arti Tanah Air
Syekh Muhammad Abduh
menggariskan kedudukan tanah air dengan adanya hubungan erat dari seseorang
warga negara dengan tanah airnya. Ada tiga hal yang mengharuskan seseorang
cinta, gairat dan mempertahankan tanah airnya, yaitu sebagai berikut.
a)
Sebagai tempat kediaman
yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal keluarga dan sanak
saudara.
b)
Sebagai tempat memperoleh
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang kedua-duanya menjadi poros (dasar)
kehidupan politik.
c)
Tempat mempertalikan diri
di mana seseorang akan merasa bangga atau terhina karenannya.
2.
Demokrasi dan Pemerintahan
Prinsip demokrasi harus
dipegangi bersama baik oleh penguasa maupun rakyat biasa. Sejarah Islam menjadi
bukti, betapa kuatnya demokrasi yang dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa
pertama Islam, sebagaimana yang dilakukanoleh Khalifah Umar ra dan kaumnya,
ketika ia berkata di hadapan mereka “wahai kaum muslimin, barang siapa melihat
suatu penyelewengan dari diriku, hendaklah ia meluruskannya”. Maka berdirilah
seorang dari mereka seraya berkata : “Demi Tuhan, kalau kami dapati pada diri
Tuan suatu penyelewaengan, maka kami akan luruskan dengan pedang kami”.
Berkatalah Umar ra : “Alhamdulillah, Tuhan telah menjadikan diantara kaum
muslimin orang yang sanggup melurudkan penyelewengan Umar dengan pedangnya”.
Menurut Syekh Muhammad Abduh, kalau prinsip demokrasi menjadi kewajiban
bagi rakyat dan penguasa bersama-sama, maka kewajiban pemerintah terhadap
rakyat ialah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan
dengan cara yang benar, agar dapat mewujudkan kebaikan dirinya dan masyrakat. [17]
B.
Segi Kemasyarakatan
Dalam segi kemasyarakatan
ia membicarakan dua hal yaitu: jiwa bersama dan kelemahan-kelemahan
masyararakat Islam.
1.
Jiwa Bersama
Menurut Syekh Muhammad
Abduh, jiwa bersama dalam suatu umat harus diperkuat, sebaliknya jiwa
individualisme harus dikikis habis. Jalannya tidak lain hanyalah pendidikan
yang didasarkan atas ajaran-ajaran Islam, sebagai pendidikan yang benar.
2.
Pendidikan
Jadi perbaikan keadaan
tersebut tidak lain hanya bertujuan mengembalikan jiwa bersama, jiwa
nasionalisme dan jiwa keislaman serta kemanusian pada umumnya. Selanjutnya obat
yang manjur ialalah ajaran-ajaran agama pada pendidikan dasar. Akan tetapi
meskipun demikan, ia tidak menginginkan agar pelajaran di sekolah-sekolah hanya
berdiri dari mata pelajaran agama semata-mata, tetapi hendaklah mata pelajaran
itu dijadikan inti semua mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain dan
ilmu-ilmu teknik yang berguna bagi murid dalam hidupnya dan menyebabkan dia
tidak kalah dengan orang Barat dalam kemapuan menguasai hidup.[18]
3.
Kelemahan-Kelemahan
Masyarakat Mesir
Syekh Muhammad Abduh
membicarakan kelemahan-kelemahan masyarakat Mesir, yang sedikit banyaknya
menjadi kelemahan masyrakat Islam dunia timur juga. Aba lima kesalahan-kesalahan
masyarakat Mesir menurut Syekh Muhammad Abduh yaitu sebagai berikut.[19]
1.
Pembicaraa-pembicaraan
masyarakat Mesir menjadi tanda adanya salah pengertian terhadap hidup dan tidak
ada kesungguhan juga karena salah pengertian terhadap hidup dam tidak ada
kesungguhan juga karena salah pendidikan dan tidak ada perhatian terhadap
akhlak.
2.
Perkawinan dipandang oleh
Syekh Muhammad Abduh suatu keharusan sosial. Pilihan dalam kawin sesuai sesuai
benar dengan tabiat manusia, sebagai makhluk yang berfikir, yang mempunyai
kecondongan naluri untuk mengadakan kerja sama dengan orang yang disukainya.
3.
Ia juga menyebutkan tentang
bid’ah-bid’ah dan sampai dimana bid’ah ini menunjukan penyelewengan dalam
akidah. Diantaranya adalah ziarah ke kubur wali-wali.
4.
Ia mencela keras main suap
(risywah) yang dipandangnya seba gai tanda kemerosotan akhlak dan kehilangan
rasa akan kewajiban.
5.
Acuh tak acuh terhadap
kepentingan umum juga mejadi noda masyarakat Mesir dan masyarakat Islam pada
umumnya.
C.
Segi Akidah
Dua hal yang dibicarakan
dalam segi ini, yaitu :
1.
Akidah Jabariah, dan
2.
Pertalian Akal dengan
Wahyu.
1.
Akidah Jabariah
Syekh Muhammad Abduh
memandang bahwa pengabdian diri secara mutlak terhadap madzhab-madzhab dan
kitab-kitab yang sekarang pada masa-masa akhir Islam tidak saja bertalian
dengan lemah kepribadian keilmuan pada masanya dan tidak sejalan dengan
kepribadian Islam yang pertama dalam langkah-langakah positif dan baik terhadap
Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga berhubungan erat dengan akidah/paham
Jabar.
Akidah Jabar bukan saja
seorang merasa lemah di depan Tuhan, tetapi juga lemah di depan orang lain,
karena akidah Jabar pada hakikatnya hanaya bisa hidup atas penghapusan
kepribadian dan wujud diri sendiri. Meskipun seharusnya penghapusan ini hanya
terjadi dalam hubungan dengan tuhan saja, tetapi karena kelemahan kepribadiaannyaia
menganggap bahwa penghapusan tersebut juga berlaku dalam hubungannya dengan
sesama makhluk.
Syekh Muhammad Abduh tidak
puas kalau kepercayaan seorang mukmin adalah kepercayaan Jabar, sebab
kepercayaan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan kelemahan manusia dan
menyebabkan ia kehilangan daya kreasi dan posisi dalam hidupnya. Karena itu
Syekh Muhammad Abduh menentang paham Jabar dan menyerukan paham Ikhtiar, agar
seorang Muslim menjadi orang yang kreatif.
2.
Hubungan Akal Dengan Wahyu
Dalam menjelaskan hubungan
akal dengan wahyu atau dengan perkataan lain antara golongan rasional dengan
golongan tekstualis dalam Islam, pendapat Syekh Muhammad Abduh sama dengan
pendapat Ibnu Rusyd yang hidup pada abad keenam Hijriah dan dengan pendapat
Ibnu Taimiah yang hadup pada abad kedelapan Hijriah, yaitu bahwa wahyu mesti
sesuai dengan akal. Ia mengatakan sebagai berikut :
“Al-Qur’an memerintahkan
kita untuk berfikir dan menggunakan akal pikiran tentang gejala-gejala alam
yang ada di depan kita dan rahasia-rahasia alam yang mungkin ditembus, untuk
memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukan Tuhan kepada kita. Al-Qur’an
melarang kita bertaqlid, sewaktu menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu
yang dicela karena mereka merasa cukup mengikuti nenek moyangnya. Taqlid adalah
sesuatu kesesatan yang dapat dimengerti kala terdapat pada hewan, akan tetapi
tidak pantas sama sekali pada manusia”.[20]
D.
Segi Pendidikan dan
Tuntutan Umum
Sebagai seorang pembaharu
(modernis). Ide dan pemikiran Muhammad Abduh mencakup dalam berbagai
bidang. Menurut al-Bahiy, pemikiran Abduh meliputi ; segi politik dan
kebangsaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan.
Walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam
menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan pada bidang
pendidikan.[21]
Di antara pemikirannya
tentang pendidikan dapat dilihat pada penjelasan dan history sebgai berikut.
1.
Sistem dan Struktur
Lembaga Pendidikan
Dalam pandangan Abduh, ia
melihat bahwa semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku di
dunia Islam lebih bercorak dualisme. Bila diteliti secara seksama, corak
pendidikan yang demikian lebih banyak dampak negatif dalam dunia pendidikan.
2.
Kurikulum
a. Kurikulum al-Azhar
Kurikulum
perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa
itu. Dalam hal ini, ia memasukan filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern
ke dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar aut-putnya dapat menjadi
ulama modern.
b. Kurikulum Sekolah Dasar
Ia
beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak
kanak-kanak. Oleh krena itu, mata pelajaran hendaknya dijadikan sebagai intu
semua mata pelajaran.
c.
Kurikulum Sekolah Menengah
dan Sekolah Kejuruan.
Ia mendirikan sekolah
menengah pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang
administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga
pendidikan ini, Muhammad Abduh merasa perlu untuk memasukan beberapa materi,
khususnya pendidikan agama, sejarah Islaml, dan kebudayaan Islam.
Di madrasah-madrasah yang
berada di bawah naungan al-Azhar, M. Abduh mengajarkan Ilmu Mantiq, Falsafah,
dan Tauhid, sedangkan selama ini al-Azhar memandang Ilmu Mantiq dan Filsafah
itu sebagai barang haram. Dirumahnya Muhammad Abduh mengajarkan pula kitab Tahzib
al-Akhlaq susunan Ibn Maskawasy, dan kitab sejarah peradaban Eropa susunan
seorang Perancis yang telah diterjemahkan ke dalam bahwa Arab dengan judul al-Tuhfat
al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al Mamalik al-Awribiyah.[22]
C.
Pengaruh Muhammad Abduh Di
Dunia Islam
Pendapat Muhammad Abduh
tersebut di Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaharu.
Murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut
melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin
dengan bukunya Tahrr al-Mar’ah, farid wajdi dengan bukunya Dairat
al-Ma’arif, Syekh Thahtawi Jauhari melalui karangannya Al-Taj al-Marshuh
bi al-Jawahir al-Qur’an wan al-Ulum. [23]
Pemikiran Muhammad Abduh
tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam awal abad
ke-20.Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di
majalah Al-Manar dan al-Urwat al-Wustqa menjadi rujukan para tokoh pembaharu
dalam dunia Islam, hingga diberbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan
sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Muhammad
Abduh.
D.
Karya-Karya Muhammad Abduh
Beberapa karya-karya Syekh Muhammad Abduh yaitu sebagai berikut :
a. Risalah al-Waridat, 1874.
b. Hasyi’ah ‘ala Syarh al-‘Aqa’id al-Adudiyah, 1876.
c. Najh al-Balaghah, 1885.
d. Al-Radd ‘ala al-Dahriyiyin, diterjemahkan tahun 1886.
e. Syarh Kitab al-Basyair al-Nashraniyah fi al-Ilmi al-Mantiq, 1888.
f. Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani, 1889.
g. Taqrir fi Ishlah al-mahakim al-Syar’iati, 1900.
h. Al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah, 1903.
i. Risalah
al-Tauhid, disusun pada tahun 1897.
j. Tafsir al-Manar.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa, Syekh Muhammad
Abduh adalah seorang yang memberikan penghargaan tinggi pada kekuatan akal.
Meskipun demikian, ia tetap memandang penting fungsi wahyu bagi akal. Konsep
teologi yang demikian itu berakibat pada keyakinannya bahwa manusia itu
mempunyai kebebasan berfikir dan berbuat. Salah satu buktinya, dia menentang
keras terhadap taklid. Kemudian Muhammad Abduh juga mempunyai ide-ide yang
brilian dalam bidang pendidikan. Ia menginginkan adanya perubahan terhadap
pendidikan demi kemajuan umat Islam. Usaha kerasnya untuk merealisasikan idenya
itu, tak jarang menemui tantangan dari umat Islam itu sendiri. Ini juga
terbukti yakni terjadinya perubahan kurikulum yang mana Syekh Muhammad Abduh
memasukan Ilmu-Ilmu Barat, yaitu Ilmu Filsafat, logika, dan juga Ilmu
Pengetahuan Modern.
Bukan hanya itu, Muhammad Abduh adalah orang yang menentang tentang
keyakinan Jabariah, yaitu hanya merasa lemah, baik kepada Tuhan ataupun orang
lain. Karena menurutnya bahwa kita manusia harus berikhtiar, harus mempunyai
jiwa kreatif.
Dengan demikian, Sikap rasional yang digagas Syekh Muhammad Abduh sangat
diperlukan untuk kemajuan Islam, sebagaimana kemajuan yang telah terjadi di
masa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya, 1995.
Munir, A. dan Sudarsono. Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1994.
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam, Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka
Al Husna Baru, 2003.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Cet.
I.; Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005.
Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Cet.
VIII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Aziz, Ahmad Amir. Neo-Modernisme Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.
Rineka Cipta,1999.
Aziz, Abdul, dkk. Gerakan Islam Kontemporer Di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996.
[1] Dr. Burhanuddin, Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal.1.
[4] A. Hanafi, M.A., Pengantar Teologi Islam, (Cet. VIII; Jakarta: PT.
Pustaka Al Husna Baru, 2003), hal. 199-200.
[6] Prof. Dr. H. Ramayulis Dan Dr. H. Samsul Nizar, M.A., Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam, (Cet. I.; Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), hal.
44.
[10] Drs. A. Munir Dan Drs. Sudarsono, S.H., Aliran Modern Dalam
Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hal. 161.
[14] Husayn, Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Cet. VIII;
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 301.
[22] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal.
53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar