A.
PENTINGNYA KEJUJURAN
1. Hadits
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ
كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ
كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ.
(رواه ابوداود)
Artinya: “Abu Umamah r. a. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “saya dapat menjamin suatu rumah dikebun syurga untuk orang yang
meninggalkan perdebatan meskipun ia benar. Dan menjamin suatu rumah
dipertengahan syurga bagi orang yang tidak berdusta meskipun bergurau dan
menjamin suatu rumah dibagian tertinggi dari syurga bagi orang yang baik budi
pekertinya.” (H. R. Abu Daud).
2.
Syarah
Hadits
Hadits ini menerangkan tiga perilaku penting yang mendapatkan
jaminan syurga dari Rasulullah SAW bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja,
ketiga perilaku ini harus diiringi berbagai kewajiban lainnya yang telah
ditentukan Islam. Ketiga perilaku tersebut adalah:
a.
Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.
Berdebat atau berbantah-bantahan adalah suatu pernyataan dengan
maksud untuk menjadikan orang lain memahami suatu pendapat atau mengurangi
kewibawaan lawan debat dengan cara mencela ucapannya sekalipun orang yang
mendebatnya itu tidak tahu persis permasalahan karena kebodohannya. Dan yang
lebih ditonjolkan dalam berdebat keegoannya sendiri sehingga ia berusaha
mengalahkan lawan debatnya dengan berbagai cara.
Sebenarnya, tidak semua bentuk perdebatan dilarang dalam Islam,
apalagi kalau berdebat dalam mempertahankan akidah. Hanya saja, perdebatan
seringkali membuat orang lupa diri, terutama kalau perdebatannya dilandasi oleh
keegoan masing-masing, bukan didasarkan pada keinginan untuk mencari kebenaran.
Tidak sedikit orang yang memiliki ego sangat tinggi dan tidak mau
dikalahkan oleh orang lain ketika berdebat walaupun dalam hatinya ia merasa
kalah. Tipe orang seperti itu biasanya selalu berusaha untuk mempertahankan
idenya dengan cara apapun.
Adapun dalam menghadapi orang yang selalu ingin menang dalam perdebatan
Nabi SAW menganjurkan untuk meninggalkannya dan membiarkannya beranggapan bahwa
dia menang dalam perdebatan tersebut.
b.
Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau.
Berdusta adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya. Dusta sangat dilarang dalam Islam, karena selain
merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain. Sebaliknya, Islam sangat
menghargai orang yang bersifat jujur walaupun dalam bercanda. Orang-orang yang
selalu jujur, sekalipun dalam bercanda sebagaimana disebutkan dalam hadits
diatas dijamin Rasulullah SAW suatu tempat ditengah syurga.
c.
Orang yang baik budi pekertinya.
Sifat lain yang meninggikan derajat seseorang disisi Allah SWT dan
pandangan manusia adalah akhlak terpuji. Sifat orang yang berakhlak mulia
diantaranya adalah bermuka manis, berusaha untuk membantu orang lain dalam
perkara yang baik, serta menjaga diri dari perbuatan jahat.
Orang yang memiliki sifat seperti itu selain dijanjikan syurga,
juga dianggap sebagai orang yang paling baik diantara sesama manusia.[1]
B.
KEJUJURAN MEMBAWA KEBAIKAN
1.
Hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا
يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا ( رواه البخارى ومسلم وابو داود
والترمذى)
Artinya: “hadits riwayat Abdullah Ibn Mas’ud r.a dari Nabi SAW
beliau bersabda, “sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan
kebaikan itu akan membimbing syurga, sesungguhnya jika seseorang senantiasa
berlaku jujur, ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya
kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu
akan mengiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta
ia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (H. R. Bukhari).[2]
2.
Penjelasan
Bahasa
Ar-Raghib mengatakan dalam kitabnya, Mufradat Al-Qur’an,
bahwa pada dasarnya Shidq dan Kidzb itu sangat terkait erat
dengan ucapan, baik dalam bentuk madhi, mustaqbal, dalam bentuk
janji atau apapun.
Kedua kata ini dalam bentuk khabar artinya kembali kepada yang
pertama. Karena bisa juga berarti lain, misalnya dalam bentuk pertanyaan dan
keharusan. Shidq adalah persesuaian antara suara hati dengan ucapan yang
keluar lewat mulut.
Namun jika syarat
persesuaian itu tidak ada maka tidak bisa dikatakan shidq. Tapi tidak shidq
bukan lantas langsung bisa dikatakan kidzb, karena bisa juga ragu.
Misalnya, pernyataan orang munafiq, “Muhammad adalah utusan Allah SWT”.
Pernyataan ini benar jika dikatakan shidq, karena ucapan yang keluar
dari mulut memang begitu.
Tapi benar juga dikatakan kidzb, karena tidak sama dengan
yang dikatakan hati. Shiddiq, orang yang banyak berbuat shidq.
Kedua kata ini terkadang digunakan untuk mengungkapkan keyakinan yang menjadi
kenyataan. Misalnya, “benar dugaanku”, dan dalam bentuk pekerjaan, misalnya,
“ia memperlihatkan keberanian dalam berperang”, “kamu telah membenarkan mimpi
itu”. Inilah pendapat Ar-Raghib.
Sedangkan Jumhur mengatakan, “shidq adalah kesesuaian dengan
kenyataan, sedangkan kidzb jika tidak sesuai”. Pendapat lain mengatakan,
“shidq itu adalah kesesuaian dengan keyakinan, sedangkan kidzb
jika tidak sesuai”.
Birr, kata yang
mempunyai cangkupan kebaikan secara luas. Tapi kata ini dipakai untuk
mengungkapkan amalan yang tulus dan terus menerus. Taharra asy-syaia, berarti
sengaja dan memang bertujuan demikian. Fujuri, kecendrungan kepada
kerusakan dan dorongan kearah maksiat. Kata ini merupakan kata yang mewakili
segala bentuk kejahatan.[3]
3.
Syarah Hadits
Dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk
jujur dalam perkataan akan menjadi karakternya dan barang siapa sengaja
berdusta dan berusaha untuk berdusta maka dusta akan menjadi karakternya.
Dengan latihan dan upaya untuk memperoleh akan berlanjut sifat-sifat baik dan
buruk.
Hadits diatas menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana
ujung-ujungnya akan membawa orang yang jujur ke Jannah, serta menunjukkan akan
besarnya keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka.
Sebagimana
diterangkan hadis diatas, bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan
kepada orang yang jujur, baik didunia maupun diakhirat. Ia akan dimasukkan
kedalam surga dan mendapat gelar terhormat, yaitu siddiq, artinya orang
yang sangat jujur dan benar. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang yang
selalu berlaku jujur dan selalu menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang
yang bertakwa. Sebagaimana terdapat dalam surat Az-Zumar ayat 33 :
Ï%©!$#ur uä!%y` É-ôÅ_Á9$$Î/ s-£|¹ur ÿ¾ÏmÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqà)GßJø9$# ÇÌÌÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang membawakebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.”
Hal itu sangat pantas diterima oleh mereka yang jujur dan
dipastikan tidak akan berkhianat kepada siapa saja. Baik kepada Allah SWT,
sesama manusia, maupun dirinya sendiri.
Orang yang jujur akan melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangan-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullah SAW, karena hal itu merupakan
janjinya kepada Allah SWT ketika mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dengan kata lain, orang yang jujur, akan menjadi orang yang paling
taat kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat, disebutkan tentang seorang badui
yang meminta nasehat kepada Rasulullah SAW. Beliau hanya berkata “jangan
berbohong”. Perkataan Rasulullah SAW terus terngiang-ngiang ditelinga sang
badui sehingga ketika ia akan melakukan perbuatan tercela, maka ia akan
berpikir pasti Rasulullah SAW akan menanyakan dan ia harus jujur. Diapun tidak
jadi melakukan perbuatan terlarang itu.
Jika seseorang berusaha untuk berkata benar, maka kebaikan bukan
hanya untuk dirinya, tetapi juga orang lain. Begitupun sebaliknya, jika
seseorang berkata dusta, perbuatannya selain merugikan orang lain pasti juga
merugikan diri sendiri.
Karena tidak akan ada lagi yang mau mempercayainya. Padahal
kepercayaan merupakan salah satu modal utama dalam menempuh kehidupan didunia.[4]
Shidq
atau jujur adalah kemuliaan diantara banyak kemuliaan lain dan merupakan dasar
dari segala perilaku, dimana disiplin bermasyarakat dan kerapian segala
permasalahan juga didasarkan pada jujur ini. Jujurlah yang mampu menjalankan
permasalahan dengan baik. Orang yang punya sikap ini akan mendapatkan derajat
yang tinggi dimata umat manusia sekalian.
Kejujuran adalah ukuran kepercayaan mereka, perkataan jujur menurut
mereka derajat paling disenangi, menurut para pejabat pemerintahan bicara jujur
merupakan kalimat kunci untuk dihormati dan menurut para hakim merupakan kunci
kesaksian untuk diterima.
Jujur bisa dalam ucapan, keyakinan dan amal perbuatan. Jujur dalam
ucapan adalah adanya kesesuaian dengan hati nuraninya, sesuai dengan kenyataan
atau sesuai dengan keduanya.
Kata ini merupakan tuntutan kepada kita untuk berkata sesuai dengan
pendirian, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan tidak membual
saja. Jika kita berkata tentang masa lalu, maka katakanlah sebenarnya, jika
berkata tentang apa yang kita niatkan maka jadikanlah ucapan kita itu sesuai
dengan niat. Jika kita berjanji maka jadikanlah niat untuk memenuhi itu selalu
berkait erat dengan keinginan yang kuat.
Dan janganlah kita meminta penjelasan tentang suatu masalah padahal
kita telah mengerti hanya agar pertanyaan kita itu didengar orang-orang yang
mendengar demi kepentingan kita sendiri. Jangan menuntut pembantu kita untuk
melakukan hal-hal yang sebenarnya kita sendiri telah tahu bahwa itu tidak akan
terlaksana atau bahkan kita telah menyinggung hal itu sebelumnya.
Jujur dalam keyakinan adalah apa yang diyakini itu hendaknya sesuai
dengan dasar yang ada dalam kenyataan. Didalam kenyataan itu ada illah
yang satu, maha kuasa, menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, menciptakan dan
mnegembalikan ke bentuk semula. Karena itu janganlah kita berkeyakinan bahwa Ia
mempunyai sekutu.
Di alam kenyataan ada juga Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT,
karenanya yakinilah risalah yang ia bawa. Di alam kenyataan ini ada kezhaliman
dan keadilan umat, maka dari itu yakinilah apa yang telah disaksikan oleh alam
kenyataan ini. Dan begitu seterusnya. Jujur dalam keyakinan pada mulanya
menuntut untuk lebih banyak mengetahui secara mendalam tentang keyakinan itu
sendiri, menghadirkan bukti-bukti fisik dan logika, dan membuang jauh-jauh
syubhat.
Jujur dalam amal perbuatan adalah adanya kesesuaian apa yang tampak
diluar tubuh dengan konsep yang ada didalam jiwa. Dengan kesesuaian ini maka ia
menjadi sangat tulus dalam berbuat, niatnya hanya untuk kemaslahatan, tidak
disusupi unsur-unsur kemunafikan maupun riya dan tidak merasa puas dengan
tujuan yang seadanya saja.
Misalnya, orang yang hendak menemui seorang pembesar, tentunya ia
akan menunjukkan rasa cintanya kepada pembesar itu, yang pada ujungnya ia akan
membuat akses untuk kepentingannya. Seperti juga, orang yang berjihad hanya
untuk menjilat dan mendapatkan pengakuan saja, atau karena pangkat dan
kehormatan.
Semua yang telah dikemukakan diatas tercakup dalam satu tema, yakni
jujur. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jujur itu menunjukkan kepada amal
kebaikan dan mengarah pada halaman kebaikan yang sangat luas. Karena itu jujur
adalah tempat berseminya segala bentuk kemuliaan, batang pohonnya dan
cabang-cabangnya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah iman kepada Allah SWT dan
percaya kepada para Rasulullah SAW serta wahyu-Nya itu hanya satu dari cabang
kejujuran? Orang yang benar tentu akan berbuat untuk kebaikan dan menegakkan
amal kebaikan. Amal kebaikan adalah jalan menuju ke syurga, bahkan merupakan
kunci pintunya.
Rasulullah SAW juga menjelaskan satu dari berbagai masalah penting
yang berkaitan dengan perilaku manusia, yaitu metoda untuk mendidik dan
membentuk perilaku, memperkuat dan memperteguhnya didalam jiwa, sekaligus
menyejajarkannya menjadi watak. Karena itu hendaklah dengan metoda itu pilihan
yang dijatuhkan adalah kepada ucapan yang baik atau amal perbuatan yang mulia,
dikerjakan secara berulang-ulang sehingga benar-benar membekas didalam jiwa.
Dari pembiasaan ini ia dituntut untuk menentukan jalan hidupnya,
yang dengan itu pula goresan yang ditorehkan. Dan dengan seringnya goresan itu
akan semakin membekas dalam setiap kali ditambahkan amal kebaikan. Dengan
goresan itu perilaku dan kemuliaan yang menciptakan segala bentuk amal kebaikan
bisa diciptakan dengan mudah.
Maka barangsiapa yang menyimpan keinginan untuk menjadikan jujur
ini sebagai perilaku, watak, agama dan tabiatnya hendaklah selalu berkata dan
berbuat yang benar, dan berkomitmen untuk menjalaninya. Ketika perilaku itu
telah mendapatkan kejujuran maka dengan perilaku itu ia akan menjadi
orang yang shiddiq.
Orang yang berkeinginan untuk menjadi seorang pemberani dan
pahlawan maka terlebih dahulu ia menumbuhkan semangat untuk bergelut melawan
kesusahan yang setiap kali datang, dan berani memerangi segala keinginan yang
setiap kali muncul pada dirinya.
Jika sudah demikian maka keberanian adalah perilakunya. Dan
barangsiapa yang menghendaki dirinya mulia hendaklah ia mengorbankan hartanya
setiap kali penyeru kebaikan meneriakkan pengorbanan itu.
Makna Allah SWT menuliskan orang yang memilih jujur dan
menjadikannya sebagai orang yang jujur adalah menuliskan itu semua didalam
daftar-Nya, menghisabnya bersama orang-orang yang jujur dan mengumumkannya
dilangit yang tinggi, sebagai ungkapan rasa senang dan untuk mengangkat nama
baiknya.
Dan satu lagi, makna Allah SWT menuliskan itu adalah Allah SWT
menurunkan wahyu kedalam hati hamba-hamba-Nya itu agar dengan cara itu mereka
balik menghormati dan mengagungkan-Nya.[5]
C. Orang yang Jujur Mendapat Pertolongan Allah
1.
Hadits
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَّلَّى
اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ : مَنْ اخذ أمْوَالَ النَّاسَ يُرِيْدُأَدَاءَ هَاأَدَى
اللَهُ عَنْهُ وَمَنْ اَخَذَهَا يُرِيْدُ اِتْلَا فَهَا اَتْلَفَهُ اللَهُ . (رواه
البخارى وابن ماجه وغيرهما).
Artinya: “Abu
Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang menggunakan harta orang lain
(untuk berdagang) dan ia ingin mengembalikannya, maka Allah akan (membantu)
mengembalikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud untuk merusaknya,
Allah pun akan merusaknya,.”(H.R
Bukhari dan Ibnu Majah dan selain keduanya).
2. Syarah Hadits
Dalam
kehidupan masyarakat, ada sebagian orang yang suka meminjam uang atau barang
kepada orang lain untuk digunakan sebagai penunjang usahanya. Hal itu
dibolehkan dalam Islam dan Allah SWT akan menolong mereka kalau mereka berniat
untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk
menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk mengembalikan
kepemiliknya.
Peminjamnya
tidak berniat menipu pemilik modal, digunakan untuk bersenang-senang, sehingga
uang tersebut habis begitu saja dan ia sendiri tidak memiliki uang untuk
menggantinya.
Oleh
karena itu, setiap peminjam modal hendaknya ingat, harta tersebut adalah amanat
yang dipercayakan oleh pemilik kepadanya. Dalam islam, umat-Nya selalu
diingatkan untuk menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya dan dikembalikan
kepada pemiliknya.
Sebaliknya,
apabila ia bermaksud berkhianat, yakni meminjam barang atau harta tersebut
untuk dirusak atau sengaja tidak akan mengembalikannya, Allah SWT akan membalas
perbuatan zalim tersebut.
Selain
itu, bagi mereka yang memiliki tabiat jelek seperti itu, tidak akan pernah lagi
dipercaya oleh orang lain. Jika terdesak oleh kebutuhan, tidak ada lagi yang
mau menolongnya atau mencoba untuk menitipkan suatu amanat kepadanya.
Hal
itu menunjukkan bahwa penunaian suatu amanah sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Adapun khianat (tidak menunaikan amanah) telah disepakati
sebagai perbuatan tercela, baik dalam pandangan Allah maupun pandangan manusia.
Berdasarkan
hadis diatas, sudah jelas bahwa Allah
SWT akan menolong orang-orang yang jujur, dalam hal ini jujur untuk benar-benar
mengembalikan pinjaman yang sudah dipinjam.[6]
[1] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, ihya ulum-addin
(Semarang: Thaha Putra, -), h. 114.
[3] Abdul Qadir
Ahmad ‘Atha’., Adabun Nabi: Meneladani Akhlak Rasulullah
SAW:: Pustaka Azam: 2002). Hal. 178.
[4] Syafe’I Rahmat, Al-Hadis, (Bandung ; CV. Pustaka
Setia, 2003) hlm 81
[5]
Abdul Qadhir Ahmad ‘Atha., Op.Cit., 182.
[6]Rahmat Syafe’I op.Cit, hlm. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar