Sabtu, 16 Januari 2016

Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya




A.      HADITS MUTAWATIR
1.      Pengertian Hadits  Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah mutatabi’ (yang datang berikutnya atau beriring-iringan antara satu dengan yang lainnya)[1]
Hadits Mutawatir menurut istilah : hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkatan.[2]
2.      Syarat-syarat Hadits Mutawatir
a.      Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Haditsmutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
b.      Adanya keseimbangan antar perawi pada tingkatan pertama dengan tingkatan berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir, antara tingkatan yang satu dengan tingkatan yang lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in, dan selanjutnya, hanya diterima oleh 5tabi’in, tidak dapat di golongkan sebagai hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara tingkatan yang pertama dengan tingkatan-tingkatan seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap tingkatan tidaklah terlalupenting.Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.


c.       Berdasarkan tanggapan panca indra
Beritayang disampaikan oleh perawinya harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir misalnya berita tentang keesaan Tuhan menurut hasil pemikiran pada filosof, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawatir
3.      Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatirlafzhi dan mutawatirMa’nawi.[3]
a.      Mutawatirlafzhi
Yang dimaksud dengan hadts mutawatirlafzhi adalah hadits yang mutawatir lafaz dan ma’nanya.[4]diantara contoh mutawatirlafzhi adalah:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمَّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ منَ الناَّر
Artinya: “ Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di nereka ”.[5]
b.      MutawatirMa’nawi
Yang dimaksud dengan hadits MutawatirMa’nawi adalah hadits yang maknanya  mutawatir, tetapi lafadznya tidak. Menurut Al Suyuthi hadits MutawatirMa’nawi adalah hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda - beda, tetapi bertemu pada titik persamaan.[6]
Contoh hadits mutawatirma’nawi, antaralain adalah hadits yang meriwayatkan bahwa nabi  SAW. Mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قَالَ أَبُو مُوسَ الْأَشْعَريُّ دَعَا النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْه وَرَأَيْتُ بَيَا ضَ إبْطَيْه
artinya“Abu Musa Al ‘Asy ‘Ari berkata: Nabi SAW.  berdo’a kemudian dia  mengangkat kedua tangannya dan melihat putih putih kedua ketiaknya”.[7]
4.      Nilai Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mempunyai nilai, yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang pasti.
B.      HADITS AHAD
1.      Pengertian hadits Ahad,
Hadits Ahad menurut bahasa adalah suatu berita yang disampaikan  oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur dan hadits mutawatir.[8]
2.      Pembagian Hadits Ahad
Secara garis besar ulama hadits membagi hadits Ahad menjadi tiga:
a.      Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah sesuatu yang sudah tersebar dan popular.Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari golongan sahabat yang tidak mencapai batas mutawatir, kemudian setelah sahabat dan sesudahnya lagi jumlah perawi mencapai jumlah mutawatir.[9]
Haidts ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat.Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan dan dha’if.
Yang dimaksud dengan hadits masyhurshahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan – ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya.[10]
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhurhasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan – ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya.[11]
Adapun yang dimaksud dengan hadit masyhurdhai’f adalah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat – syarat hadits shahih dan hasan baik pada sanad maupun matannya.[12]
Macam – macam hadits masyhur:
1.      Masyhur dikalangan ahli hadits.
Seperti hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah SAW. membaca do’a qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh, hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat Sulaiman Al-Taimi dari Abi Mijlas dari Anas.
2.      Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama –ulama lain, dan dikalangan orang umum.
المسلم من سلم المسلمون من لسنه ويده {رواه البخارى ومسلم}
3.      Masyhur dikalangan ahli fiqih
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع العرر {رواه مسلم}
4.      Masyhur dikalangan ahli ushul fiqih
اذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر { رواه مسلم}
5.      Masyhur dikalangan ahli sufi
كنت كنزا مخفيا فأحببت ان أعرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
6.      Masyhur dikalangan ulama - ulama arab
Seperti ungkapan : “ Kami { orang orang arab } yang paling fasih mengucapkan huruf dhad, sebab kami dari golongan orang Quraisy “.
b.      Hadits ‘aziz
Aziz menurut bahasa adalah sedikit atau jarang.Sedangkan ‘Aziz menurut ustilah adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.[13]
Contoh hadits ‘aziz adalah:
لاَيُؤْمنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إلَيْه منْ وَالده وَوَلَده وَالنَّاس أَجْمَعيْنَ
Artinya: “Tidakalah beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.[14]
Hadits  Aziz  yang shahih, hasan dan dha’if tergantung kepada terpenuhi  atau tidaknya ketentuan –ketentuan yang berkaitan dengan hadits shahih, hasan dan dha’if.
c.       Hadits Gahrib
Gharib menurut bahasa adalah menyendiri atau jauh dari kerabatnya.Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seseorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.[15]
Hadist gharib dapat digolongkan menjadi dua yaitu:gharib mutlak dan gharibnisbi.

Yang dimaksud dengan gharib mutlak adalah apabila penyendirian tersebut  mengenai personalianya,sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu tingkatan.[16]
Contoh hadist gharib mutlak antaralain adalah:
اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَة النّاسَب لاَيُبَا عُ وَلاَيُوْ هَبُ
”kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasa,tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.[17]

Sedangkan yang dimaksud dengan hadist gharibnisbi adalahapabila penyendirian itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi.[18]
Contoh hadist gharib nisbi adalah:
كَانَ يَقْرَأُ به رَسُوْلً الله صَلّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ فيْ الْأَضْحَى وَالْفطْر بقْ وَالْقُرْان الْمَجيْد وَاقْتَرَبَت السَّا عَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
 “konon rasulullah pada hari rayaqurban dan hari raya fitrah membaca surat qaf dan surat al qamar.[19]
Penyendirian rawi mengenai  sifat sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi,mempunyai beberapa kemungkinan,antara lain:
a. Tentang sifat keadilan dan kedhabithan rawi.
b.Tentang kota atau tempat tempat tinggal tertentu.
c. Tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu
Disamping pembagian hadist gharib sebagaimana tertera diatas,kalau penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya,dimatankah atau disanad, maka ia terbagi lagi menjadi tiga bagian:
1.Gharib pada sanad dan matan.
2.Gharib pada sanadnya saja,sedang pada matanya tidak.
3.Gharib pada sebagian matanya saja.
4. Istilah istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan hadis gharib.
5. Cara-cara untuk menetapkan keghariban hadits.
Ketentuan  umum hadist ahad :
Pembagian hadist ahad kepada masyhur, ‘aziz dan gharib, tidak bertentangan dengan pembagian hadist ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membagi hadis ahad kepada tiga macam tersebut,bukan bertujuan langsung untuk menentukan maqbul atau mardudnya suatu hadist,tetapi bertujuan  untuk mengetahui banyak atau  sedikitnya sanad. Sedang membagi hadist ahad kepada sahih,hasan dan dhaif adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadist.
Dengan demikian, hadis masyhur dan ‘aziz itu,masing - masing ada yang sahih,hasan dan dhaif. Juga tidak setiap hadist gharib itu tentu dhaif. Ia adakalanya sahih, apabilamemenuhi  syarat - syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadist yang lebih rajIh. Hanya saja pada umumnya hadist gharib itu dhaif,dan kalau ada yang sahih,itupun hanya sedikit sekali.
Contoh hadist  masyhurshahih:
إنَّمَاالاَّعْمَالُ بالنّيّات[20]
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّات

Contoh hadist masyhur yang hasan:
لاضرر و لاضرار[21]
حَدَّثَنَا عَبْدُ رَبِّهِ بْنُ خَالِدٍ النُّمَيْرِيُّ أَبُو الْمُغَلِّسِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Contoh hadist masyhur yang dhaif:
اللواء يحمله علي يوم القيامة[22]
Diriwayatkan oleh Ibnu AL-Jauziy dalam kitabnya AL-Maudhu’aat dari Anas bin Malik, Jabir bin Samurah, dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ,anhum.
Faedah  hadistmutawatir dan ahad
a.      Faedah hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri,kita yakin denganseyakin yakinya bahwa nabi Muhammad SAW.benar- benar menyabdakan dan mengerjakan sesuatu yang seperti yang diriwayatkan oleh rawi - rawi mutawatir.[23]
Dengan demikian,dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi rawi hadist mutawatir tentang keadilannya dan kedhabitanyatidak diperlukan lagi,karena kuantitas atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat untu berdusta. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim untuk menerima dan mengamalkan semua haditsmutawatir.
b.      Faedah hadits Ahad
Para ulama sependapat bahwa hadist ahad tidak memfaedahkan qat’I,sebagaiman hadist mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan. Oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat di ketahui maqbul dan mardudnya.Dan apabila telah diketahui bahwa hadits tersebut tidak tertolak, dalm arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagai mana hadits mutawatir.[24]
Dari segi kualitas sanad dan matan hadist:
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist tergantung kepada tiga hal,yaitu jumlah rawi,keadaan(kualitas) rawi, dan keadaan matan.Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh suatu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari pada hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.



                [1]Munzier Suparta, (1993), Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
                [2]Ibid.
                [3]Ibid.
                [4]Ibid.
                [5]Ibid.
                [6]Ibid.
                [7]Ibid.
                [8]Ibid.
                [9]Ibid.
                [10]Fatchur Rahman, (1970), Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Jawa Barat: PT Alma’arif.
                [11]Ibid.
                [12]Ibid.
                [13]Ibid.
                [14]Ibid.
                [15]Ibid.
                [16]Ibid.
                [17]Ibid.
                [18]Ibid.
                [19]Ibid.
                [20]Ibnu Daqiiqil ‘Ied, (2013), Syarah Hadits Arba’in, Solo: At-Tibyan.
[21] http://umar-arrahim.blogspot.com/2013/03hadits-masyhur.html
[22] Ibid.
                [23]Muhammad Ahmad, (2000), Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia.
                [24]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar