PENDAHULUAN
Pembaruan dalam Islam yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai
tujuan, yakni membawa umat Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan
maupun kebudayaan. Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan
juga kemunduran. Untuk merujuk suatu kemajuan selalu dipakai kata modern,
modernisasi, atau modernisme. Masyarakat Barat menggunakan istilah modernisme
tersebut untuk sesuatu yang mengandung arti pikiran, aliran atau paradigma
baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun tekhnologi.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat Islam
Filsafat adalah kata majemuk yang
berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia dan philosophos.
Philo, berarti cinta, sedangkan Sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau
kebijaksanaan. Jadi filsafat secara sederhana berarti cinta pada pengetahuan
atau kebijaksanaan.[1]
Sedangkan filsafat Islam adalah
perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan
alam semesta yang disinari ajaran Islam.[2]
Di antara tokoh-tokoh yang ada di
era modern ini adalah Muhammad Abduh dan Hasan Hanafi. Adapun profil dan
perkembangan pemikiran dari Muhammad Abduh dan Hasan Hanafi terhadap filsafat Islam
adalah sebagai berikut :
1.
Muhammad Abduh
a.
Biografi Ringkas Muhammad Abduh
Nama
lengkapnya Syeikh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah, seorang putra Mesir yang
lahir di desa Mahal Lat Nashr Kabupaten Al-Bukhaira, pada 1266 H /1849 M
Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah asal Turki yang menetap di Mesir. Ibunya
bernama Junainah yang menurut riwayat berasal dari Bangsa dengan silsilah
meningkat sampai kepada Umar bin Kahatab. Ia berasal dari keturunan yang tekun
beragama meski seacara ekonomi keluarga ini termasuk keluarga yang kurang
berunung, namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang yang terhormat yang suka
member pertolongan.[3]
Selaku anak dari keluarga yang taat
ia mula-mula belajar al Quran. Karena otaknya yang cemerlang dalam waktu dua
Tahun ia telah berhasil menghafal Al Quran pada waktu ia baru berumur 12 tahun.
Setelah selesai menghafal Al Quran maka pada Tahun 1862 M ia dikirim oleh
ayahnya ke Kota Thanta untuk belajar ilmu-ilmu keIslaman.
Pada Tahun 1872 M Syeikh Muhammad Abduh berhubungan dengn Jamaludi
Al Afghoni dan kemudian menjadi muridnya yang setia karena pengaruh gurunya
tersebut ia terjun ke lapangan persurat kabaran pada tahun 1876 M. setelah
menamtkan pelajarannya di Al Azhar, dengan mendapat ijazah Alamiyyah ia
diangkat menjadi guru di darul Ulum.[4]
Ketika Al Afghani diusir dari Mesir pada Tahun 1879 M karena
dituduh mengadakan gerakan perlawana Khadewi taufik, Abduh juga dituduh ikut
campur di dalamya, ia dibuang ke luar Kota Kairo. Namun pada 1880 M ia
dibolehkan kembali ke Ibu Kota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar
resmi Pemerintah Mesir, Al waqa’i Al Mishriyyah.
Setelah revolusi Urabi 1882 M (yang berakhir dengan kegagalan)
Abduh ketika ia masih memimpin surat kabar Al waqa’I dituduh dalam revolusi
besar tersebut sehingga Pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya
selama tiga Tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat
pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah di negeri ini ia menetap selam satu
tahun. Kemudian ia menyusul gurunya Al Afghani yang ketika itu berada di Paris.
Pada 1889 M abduh diangkat menjadi Mufti Mesir, samapai ia meninggal dunia
Tahun 1905 M.
b.
Dasar-Dasar Pemikiran
Pemikiran Kalam/ teologis Muhammad Abduh yang menonjol berkaitan
dengan ketuhanan, manusia, kedudukan akal dan wahyu seta bahasan yang berkaitan
dengannya, yang pada prinsipnya bersandar kepada al Quran dan Sunnah. Beberapa
aspek pemikiran kalam Abduh yang menonjol dalam pembahasa ketuhunan, kedudukan,
wahyu dan manusia sebagai berikut :
1)
Tentang
Tuhan
Menurut
Muhammad abduh, hukum-hukum yang wajib bagi Tuhan adalah bahwa Ia Qadim (tidak
bermula). Sebab kalau Ia bermula berarti ia baharu sedang yang baharu didahului
oleh oleh tiada, dan tentulah kalau begitu Ia berhajat kepada yang mengadakan
Nya. Ia juga bersifat Baqa (kekal tanpa ada berkesudahan)[5]
Menurut Abduh semua perbuatan Allah terbit
dari ilmu dan iradhat-Nya. tiap-tiap sesuatu yang muncul dari ilmu dan iradat,
berpangkal kepada ikhtiar. Setiap yang terbit dari ikhtiar tidak satupun yang
wajib dilakukan oleh zat Nya. pad sisi lain menurut Abduh, Allah wajib berbuat maslahat
wa alaslah (berbuat baik dan bahkan yang terbaik) dan berlaku adil ini
sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa Allah telah menciptakan makhluk Nya,
ia membatasi atas perbuatan-perbuatannya, sehingga bisa dikatakan setelah itu,
perbuatan Allah tidak mutlak lagi.[6]
Tentang mekanisme perbuatan Allah terhadap makhluknya, Allah memperlakukan apa
yang disebut dengan sunnatullah atau hokum alam, dimana hokum ini akan selalu
berlaku tetap.
Abduh
juga menjelaskan bahwa, semua ciptaan Allah ada hikmahnya. Allah memberikan hikmah
kepada segala sesuatu dan menciptakan makhlukNya dengan sebaik-sebaiknya.
Abduh
memberikan porsi atau daya yang besar kepada akal dan kebebasan manusia dalam
perbuatannya, ia mempunyai kecendrungan untuk memahami dan meninjau alami bukan
hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan
kepentingan manusia. Menurutnya tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan, ia memandang bukan hanya
dari segi Maha KesempurnaanNya tetapi juga dari pemikiran rasional manusia.
Sifat ketidakadilan tidak dapat diberikan
kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan alam
semesta.
2)
Aspek
kedudukan akal dan fungsi wahyu
Wahyu
menurut konsep Muhammad Abduh adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang
dengan keyakinan penuh bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan
perantara maupun tidak.
Ada
dua pokok umat yang menjadi focus utama pemikiran Muhammad Abduh, sebagai
berikut:
a.
Membebaskan
akal pikiran dari berbagai belenggu taklid yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ummah (Ulama sebelum abad ke-3
H), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya
yaitu al-Qur’an.
b.
Memperbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor – kantor
pemerintahan maupun tulisan- tulisan media massa.
3)
Aspek
kebebasan manusia dan fatalisme
Bagi
Abduh disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang
ada pada diri manusia. Kalau sifat dasar itu dihilangkan darinya, ia bukan
manusia lagi tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan
akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan
kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya
yang ada dalam dirinya[7].
c.
Pengaruh
corak pemikiran Muhammad Abduh di
Indonesia
Muhammad
Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam.
Muhammad
Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam
kontenporer seperti:
1)
Reformasi
pendidikan
Muhammad
Abduh memulai perbaikannya melalui perbaikan pendidikan sebagi sector utama
untuk melakukan perbaikan system pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim
yang shaleh.
2)
Mendirikan
lembaga yayasan sosial
3)
Mendirikan
sekolah pemikiran
2.
Hasan Hanafi
a.
Riwayat Hidup
Hasan Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan profesor
filsafat terkemuka di Mesir. Ia dilahirkan di Kairo tanggal 13 Februari 1956,
sepuluh tahun kemudian ia telah mengantongi gelar doktor dari sorbonne salah satu universitas terkemuka di
Prancis. Selama rentang studi di negeri yang multi etnis tersebut, ia mengajar
bahasa Arab di ecole des langues orientiales di Paris. Setelah menamatkan
studinya ia kembali ke Mesir Universitas Kairo untuk mengabdi di almamaternya
memberikan mata kuliah pemikiran kristen abad pertengahan dan filsafat Islam.
Reputasi internasional diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi
asing dan mendapatkan jabatan guru besar luar biasa (visting profesor). Ia juga
mengajar pada berbagai perguruan tinggi asing seperti Belgia 1970, Amerika
Serikat 197—1975, Kuwait 1979, Maroko 1982-1984, Jepang 1984-1985 dan menjadi
penasehat pengajaran universitas PBB di Tokyo.[8]
Dari kapasitasnya sebagai konsultan dan guru besar ini, ia berusaha
mengamati secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan yang terjadi di
banyak belahan dunia. Persentuhannya dengan agama revolusioner Amerika Serikat
dan teologi pembebasan di Amerika Latin mengantarkan Hasan Hanafi pada kesimpulan
bahwa berteologi sudah saatnya dan seyogyanya menjadi refleksi kemanusian
tentang kondisi, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Rekontruksi teologi
lebih lanjut berfungsi untuk mentranformasikan kehidupan manusia, pandangan
dunia dan cara hidupnya sehingga perubahan sosial, politik dan terjadi
restrukturisasi tauhid.
Sebagaimana dalam autubiografinya banyak peristiwa dan pengalaman
pribadinya yang telah membangkitkan kesadarannya tentang pentingnya teologi
tanah, sebuah teologi yang ia imajinasikan dengan nasionalisme, kekuatan
pembebasab dari kolonial bahkan ketika ia masih duduk dibangku sekolah
menengah. Ketika usia dua puluh satu tahun ia melanjutkan pendidikan di
universitas sorbone dengan mengambiul spesialisasi filsafat modern Barat dan
pra modern. Persentuhannya dengan berbagai pemikiran ia berusaha merumuskan
sebuah proyek pembaharuan menyeluruh terhadap pemikiran Islam yang kemudian ia
tuangkan dalam proposal doktoralnya dengan judul al Manahij al islami al amm.
Rencana Hasan Hanafi untuk meletakkan Islam sebagi teori koperhesip atau
semacam proyek peradaban bagitu tranformasi kehidupan individu dan masyarakat
muslim.
b.
Dasar - Dasar Pemikiran Hasan Hanafi
Sebagaimana dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh paradigma
Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat yang dalam judul aslinya Muqadimah
Fi Ilm Al Istighrab. Dalam karya tersebut ia mengajak kepada
pembacanya berjihad melawan Barat, tepatnya berteologi untuk kepentingan
pembebasan. Jika dilihat dari sprektur teoritis-filosofis watak pemikiran Hasan
Hanafi kiri revolusioner. Sebagai seorang yang memiliki sense of
reality yang kuat, Hasan Hanafi memiliki pandangan sangat empiris
atau membumi. Sebagai muslim yang reformer ia sebagai pengusung kebudayaan yang
kritis terhadap Islam dan pemikir peradaban Islam. Strategi kebudayaan sebagai
upya sadar manusia mentrasendesikan kesulitan, rintangan, bahkan
persoalan-persolan kekinian dan kedisinian.Hasan Hanafi termasuk pemikir Islam modern yang bobot
intelektualnya merubah dunia Islam baru paska Moderisme. Hasan Hanafi
menambahkan model baru dalam usaha memahami khasanah Islam. Pemikirannya
tergolong multilintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dari
aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggap terpinggirkan, Hasan Hanafi
tergolong pemikir anti kemapamanan ia selalu berada pada garis minoritas.
Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan.[9]
Pemikiran Hasan Hanafi
dimulai dari hal yang paling mendasar dalam Islam yaitu tauhid. Menurutnya hal
yang utama yang harus dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah
pembangunan kembali semangat tauhid. Sebab tauhid asal seluruh pengetahuan.
Menurut beliau Islam bukan berarti tunduk dan menghamba, melainkan lebih
merupakan kesadaran individu, tatanan sosial dan sejarah dinamis.
Hasan Hanafi membangun landasan pemikiran hermenetisnya diatas
emapat pilar; dari khasanah klasik ia memimilih ushul al fiqh, sementara
fenomenaologi, marxisme, disampaing hermeneutika itu sendiri, dari tradisi
intelektual barat. Hal ini merupakan ancangan baru mayoritas penafsir dan
metode tafsir Al quran saat ini kmasih terbatas dengan menggunakan pendekatan
filologi, hukum periwayatan atau laporan sejarah, teologi, filsafat, kajian
mistik, jastifikasi penemuan sains, kajian sosio-politik, hingga oendekatan
estetis pada al quran. Pada khazanah klasil ia memilih ushul al fiqh secara
paraktis ia melihat ada keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsir, dengan
proses pembentukan hukum. Hal tersebut dikarenakan merumuskan hukum dalam
rangka melihat realitas sosial yang memiliki permasalahan sangat komplek dalam
dunia muslim. Hermeneutik Hasan Hanafi juga sangat dipengaruhi oleh
hermeneutika Hans Georg Gadamer. Dengan salah satu pendekatan ini berkaitan
dengan penafsiran teks terletak pada anggapan penafsir tidak bisa lepas dari
subjektifitas penafsir yang kemudian disebut sebagai pra faham. Kegiatan
penafsir senantiasa melibatkan pandangan tertentu penafsir terhadap objek yang
ia tafsir. Oleh karena itu proses penafsiran bersifat equivalen dan berusaha
mencari makna baru sehingga penafsiran bersikap kreatif.
Karya Hasan Hanafi terbesar melalui sebuah jurnal Islami maupun berbentuk
buku. Salah satu yang amat terkenal yaitu jurnal yang berjudul Maza ya’ni
al-yasar al-Islami berbahasa Arab. Jermahannya Islam kiri atau kiri Islam. Yang
memuat tentang pemikiran beliau khazanah Islam, perlunya perlawanan terhadap
kebudayaan Barat dan perlunya analisis dunia Islam.
Sikap Hasan Hanafi selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat
dalam memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Dari sisi ini beliau
menjadikan Barat sebagai bahan kajian akademik dengan mencoba membangun sistem
baru. Hasan Hanafi menyerap sepenuhnya nilai dari ilmu-ilmu Barat, tapi dari
sana pula ia mengkaji Barat dalam satu pemahaman wacana kelompok modernis yang
agak emosional, baik mereka yang menerima maupun menolak.[10]
Kesimpulan
Muhammad Abduh merupakan salah satu
tokoh pembaharuan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan umat Islam ia
merupakan salah satu tokoh pembaharuan yang memberikan perhatian dalam bidang
pendidikan.
Hasan Hanafi menambahkan model baru
dalam usaha memahami khasanah Islam. Pemikirannya tergolong multilintas, dan
ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dari aspek pembelaan atas
pemikiran Islam yang dianggap terpinggirkan , Hasan Hanafi tergolong pemikir
anti kemapamanan ia selalu berada pada garis minoritas. Ketika semua orang
menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan.
[1] Sirajuddin, Filsafat
Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007), h. 2
[2] Ibid,
h. 15
[3] Zainal, Sejarah
pemikiran Aliran Kalam, (Padang: The Minang Kabau Pondation, 1997) h. 174
[4] Ibid, Hal: 175
[5] Ibid, Hal:
176
[6] Nasution, Muhammad
Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah,(Jakarta:universitas Indonesia,1987),h.
77
[7] Nasution, op.
cit., h. 65
[8] Ahmad Taufik
dkk., Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisasi Islam, (Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 200
[9] Ibid,
h. 200
[10] Ibid,
h. 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar