Kamis, 14 Januari 2016

Filsafat islam


PENDAHULUAN
Pembaruan dalam Islam yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa umat Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Untuk merujuk suatu kemajuan selalu dipakai kata modern, modernisasi, atau modernisme. Masyarakat Barat menggunakan istilah modernisme tersebut untuk sesuatu yang mengandung arti pikiran, aliran atau paradigma baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun tekhnologi.










PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filsafat Islam
Filsafat adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia dan philosophos. Philo, berarti cinta, sedangkan Sophia atau sophos, berarti pengetahuan atau kebijaksanaan. Jadi filsafat secara sederhana berarti cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan.[1]
Sedangkan filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam.[2]
Di antara tokoh-tokoh yang ada di era modern ini adalah Muhammad Abduh dan Hasan Hanafi. Adapun profil dan perkembangan pemikiran dari Muhammad Abduh dan Hasan Hanafi terhadap filsafat Islam adalah sebagai berikut :
1.      Muhammad Abduh
a.      Biografi Ringkas Muhammad Abduh
Nama lengkapnya Syeikh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah, seorang putra Mesir yang lahir di desa Mahal Lat Nashr Kabupaten Al-Bukhaira, pada 1266 H /1849 M Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah asal Turki yang menetap di Mesir. Ibunya bernama Junainah yang menurut riwayat berasal dari Bangsa dengan silsilah meningkat sampai kepada Umar bin Kahatab. Ia berasal dari keturunan yang tekun beragama meski seacara ekonomi keluarga ini termasuk keluarga yang kurang berunung, namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang yang terhormat yang suka member pertolongan.[3]
            Selaku anak dari keluarga yang taat ia mula-mula belajar al Quran. Karena otaknya yang cemerlang dalam waktu dua Tahun ia telah berhasil menghafal Al Quran pada waktu ia baru berumur 12 tahun. Setelah selesai menghafal Al Quran maka pada Tahun 1862 M ia dikirim oleh ayahnya ke Kota Thanta untuk belajar ilmu-ilmu keIslaman.
Pada Tahun 1872 M Syeikh Muhammad Abduh berhubungan dengn Jamaludi Al Afghoni dan kemudian menjadi muridnya yang setia karena pengaruh gurunya tersebut ia terjun ke lapangan persurat kabaran pada tahun 1876 M. setelah menamtkan pelajarannya di Al Azhar, dengan mendapat ijazah Alamiyyah ia diangkat menjadi guru di darul Ulum.[4]
Ketika Al Afghani diusir dari Mesir pada Tahun 1879 M karena dituduh mengadakan gerakan perlawana Khadewi taufik, Abduh juga dituduh ikut campur di dalamya, ia dibuang ke luar Kota Kairo. Namun pada 1880 M ia dibolehkan kembali ke Ibu Kota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi Pemerintah Mesir, Al waqa’i Al Mishriyyah.
Setelah revolusi Urabi 1882 M (yang berakhir dengan kegagalan) Abduh ketika ia masih memimpin surat kabar Al waqa’I dituduh dalam revolusi besar tersebut sehingga Pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga Tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah di negeri ini ia menetap selam satu tahun. Kemudian ia menyusul gurunya Al Afghani yang ketika itu berada di Paris. Pada 1889 M abduh diangkat menjadi Mufti Mesir, samapai ia meninggal dunia Tahun 1905 M.
b.      Dasar-Dasar Pemikiran
Pemikiran Kalam/ teologis Muhammad Abduh yang menonjol berkaitan dengan ketuhanan, manusia, kedudukan akal dan wahyu seta bahasan yang berkaitan dengannya, yang pada prinsipnya bersandar kepada al Quran dan Sunnah. Beberapa aspek pemikiran kalam Abduh yang menonjol dalam pembahasa ketuhunan, kedudukan, wahyu dan manusia sebagai berikut :
1)      Tentang Tuhan
Menurut Muhammad abduh, hukum-hukum yang wajib bagi Tuhan adalah bahwa Ia Qadim (tidak bermula). Sebab kalau Ia bermula berarti ia baharu sedang yang baharu didahului oleh oleh tiada, dan tentulah kalau begitu Ia berhajat kepada yang mengadakan Nya. Ia juga bersifat Baqa (kekal tanpa ada berkesudahan)[5]
      Menurut Abduh semua perbuatan Allah terbit dari ilmu dan iradhat-Nya. tiap-tiap sesuatu yang muncul dari ilmu dan iradat, berpangkal kepada ikhtiar. Setiap yang terbit dari ikhtiar tidak satupun yang wajib dilakukan oleh zat Nya. pad sisi lain menurut Abduh, Allah wajib berbuat maslahat wa alaslah (berbuat baik dan bahkan yang terbaik) dan berlaku adil ini sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa Allah telah menciptakan makhluk Nya, ia membatasi atas perbuatan-perbuatannya, sehingga bisa dikatakan setelah itu, perbuatan Allah tidak mutlak lagi.[6] Tentang mekanisme perbuatan Allah terhadap makhluknya, Allah memperlakukan apa yang disebut dengan sunnatullah atau hokum alam, dimana hokum ini akan selalu berlaku tetap.
Abduh juga menjelaskan bahwa, semua ciptaan Allah ada hikmahnya. Allah memberikan hikmah kepada segala sesuatu dan menciptakan makhlukNya dengan sebaik-sebaiknya.
Abduh memberikan porsi atau daya yang besar kepada akal dan kebebasan manusia dalam perbuatannya, ia mempunyai kecendrungan untuk memahami dan meninjau alami bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Menurutnya tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan, ia memandang bukan hanya dari segi Maha KesempurnaanNya tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat  diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan alam semesta.
2)      Aspek kedudukan akal dan fungsi wahyu
Wahyu menurut konsep Muhammad Abduh adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dengan keyakinan penuh bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan perantara maupun tidak.
Ada dua pokok umat yang menjadi focus utama pemikiran Muhammad Abduh, sebagai berikut:
a.       Membebaskan akal pikiran dari berbagai belenggu taklid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al-ummah (Ulama sebelum abad ke-3 H), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya yaitu al-Qur’an.
b.      Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor – kantor pemerintahan maupun tulisan- tulisan media massa.
3)      Aspek kebebasan manusia dan fatalisme
Bagi Abduh disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan  memilih yang merupakan sifat dasar alami yang ada pada diri manusia. Kalau sifat dasar itu dihilangkan darinya, ia bukan manusia lagi tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya[7].
c.       Pengaruh corak pemikiran  Muhammad Abduh di Indonesia
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam.
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontenporer seperti:
1)      Reformasi pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui perbaikan pendidikan sebagi sector utama untuk melakukan perbaikan system pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.
2)      Mendirikan lembaga yayasan sosial
3)      Mendirikan sekolah pemikiran


2.      Hasan Hanafi
a.      Riwayat Hidup
Hasan Hanafi adalah seorang pemikir hukum Islam dan profesor filsafat terkemuka di Mesir. Ia dilahirkan di Kairo tanggal 13 Februari 1956, sepuluh tahun kemudian ia telah mengantongi gelar doktor dari  sorbonne salah satu universitas terkemuka di Prancis. Selama rentang studi di negeri yang multi etnis tersebut, ia mengajar bahasa Arab di ecole des langues orientiales di Paris. Setelah menamatkan studinya ia kembali ke Mesir Universitas Kairo untuk mengabdi di almamaternya memberikan mata kuliah pemikiran kristen abad pertengahan dan filsafat Islam.
Reputasi internasional diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi asing dan mendapatkan jabatan guru besar luar biasa (visting profesor). Ia juga mengajar pada berbagai perguruan tinggi asing seperti Belgia 1970, Amerika Serikat 197—1975, Kuwait 1979, Maroko 1982-1984, Jepang 1984-1985 dan menjadi penasehat pengajaran universitas PBB di Tokyo.[8]
Dari kapasitasnya sebagai konsultan dan guru besar ini, ia berusaha mengamati secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan yang terjadi di banyak belahan dunia. Persentuhannya dengan agama revolusioner Amerika Serikat dan teologi pembebasan di Amerika Latin mengantarkan Hasan Hanafi pada kesimpulan bahwa berteologi sudah saatnya dan seyogyanya menjadi refleksi kemanusian tentang kondisi, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Rekontruksi teologi lebih lanjut berfungsi untuk mentranformasikan kehidupan manusia, pandangan dunia dan cara hidupnya sehingga perubahan sosial, politik dan terjadi restrukturisasi tauhid.
Sebagaimana dalam autubiografinya banyak peristiwa dan pengalaman pribadinya yang telah membangkitkan kesadarannya tentang pentingnya teologi tanah, sebuah teologi yang ia imajinasikan dengan nasionalisme, kekuatan pembebasab dari kolonial bahkan ketika ia masih duduk dibangku sekolah menengah. Ketika usia dua puluh satu tahun ia melanjutkan pendidikan di universitas sorbone dengan mengambiul spesialisasi filsafat modern Barat dan pra modern. Persentuhannya dengan berbagai pemikiran ia berusaha merumuskan sebuah proyek pembaharuan menyeluruh terhadap pemikiran Islam yang kemudian ia tuangkan dalam proposal doktoralnya dengan judul al Manahij al islami al amm. Rencana Hasan Hanafi untuk meletakkan Islam sebagi teori koperhesip atau semacam proyek peradaban bagitu tranformasi kehidupan individu dan masyarakat muslim.


b.      Dasar - Dasar Pemikiran Hasan Hanafi
Sebagaimana dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh paradigma Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat yang dalam judul aslinya Muqadimah Fi Ilm Al Istighrab. Dalam karya tersebut ia mengajak kepada pembacanya berjihad melawan Barat, tepatnya berteologi untuk kepentingan pembebasan. Jika dilihat dari sprektur teoritis-filosofis watak pemikiran Hasan Hanafi kiri revolusioner. Sebagai seorang yang memiliki sense of reality yang kuat, Hasan Hanafi memiliki pandangan sangat empiris atau membumi. Sebagai muslim yang reformer ia sebagai pengusung kebudayaan yang kritis terhadap Islam dan pemikir peradaban Islam. Strategi kebudayaan sebagai upya sadar manusia mentrasendesikan kesulitan, rintangan, bahkan persoalan-persolan kekinian dan kedisinian.Hasan Hanafi termasuk  pemikir Islam modern yang bobot intelektualnya merubah dunia Islam baru paska Moderisme. Hasan Hanafi menambahkan model baru dalam usaha memahami khasanah Islam. Pemikirannya tergolong multilintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dari aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggap terpinggirkan, Hasan Hanafi tergolong pemikir anti kemapamanan ia selalu berada pada garis minoritas. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan.[9]
 Pemikiran Hasan Hanafi dimulai dari hal yang paling mendasar dalam Islam yaitu tauhid. Menurutnya hal yang utama yang harus dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah pembangunan kembali semangat tauhid. Sebab tauhid asal seluruh pengetahuan. Menurut beliau Islam bukan berarti tunduk dan menghamba, melainkan lebih merupakan kesadaran individu, tatanan sosial dan sejarah dinamis.
Hasan Hanafi membangun landasan pemikiran hermenetisnya diatas emapat pilar; dari khasanah klasik ia memimilih ushul al fiqh, sementara fenomenaologi, marxisme, disampaing hermeneutika itu sendiri, dari tradisi intelektual barat. Hal ini merupakan ancangan baru mayoritas penafsir dan metode tafsir Al quran saat ini kmasih terbatas dengan menggunakan pendekatan filologi, hukum periwayatan atau laporan sejarah, teologi, filsafat, kajian mistik, jastifikasi penemuan sains, kajian sosio-politik, hingga oendekatan estetis pada al quran. Pada khazanah klasil ia memilih ushul al fiqh secara paraktis ia melihat ada keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsir, dengan proses pembentukan hukum. Hal tersebut dikarenakan merumuskan hukum dalam rangka melihat realitas sosial yang memiliki permasalahan sangat komplek dalam dunia muslim. Hermeneutik Hasan Hanafi juga sangat dipengaruhi oleh hermeneutika Hans Georg Gadamer. Dengan salah satu pendekatan ini berkaitan dengan penafsiran teks terletak pada anggapan penafsir tidak bisa lepas dari subjektifitas penafsir yang kemudian disebut sebagai pra faham.  Kegiatan penafsir senantiasa melibatkan pandangan tertentu penafsir terhadap objek yang ia tafsir. Oleh karena itu proses penafsiran bersifat equivalen dan berusaha mencari makna baru sehingga penafsiran bersikap kreatif.
Karya Hasan Hanafi terbesar melalui sebuah jurnal Islami maupun berbentuk buku. Salah satu yang amat terkenal yaitu jurnal yang berjudul Maza ya’ni al-yasar al-Islami berbahasa Arab. Jermahannya Islam kiri atau kiri Islam. Yang memuat tentang pemikiran beliau khazanah Islam, perlunya perlawanan terhadap kebudayaan Barat dan perlunya analisis dunia Islam.
Sikap Hasan Hanafi selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat dalam memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Dari sisi ini beliau menjadikan Barat sebagai bahan kajian akademik dengan mencoba membangun sistem baru. Hasan Hanafi menyerap sepenuhnya nilai dari ilmu-ilmu Barat, tapi dari sana pula ia mengkaji Barat dalam satu pemahaman wacana kelompok modernis yang agak emosional, baik mereka yang menerima maupun menolak.[10]


Kesimpulan
Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh pembaharuan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan umat Islam ia merupakan salah satu tokoh pembaharuan yang memberikan perhatian dalam bidang pendidikan.
Hasan Hanafi menambahkan model baru dalam usaha memahami khasanah Islam. Pemikirannya tergolong multilintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu juga dari aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggap terpinggirkan , Hasan Hanafi tergolong pemikir anti kemapamanan ia selalu berada pada garis minoritas. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbalik membela kegelisahan.



[1] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007), h. 2
[2] Ibid, h. 15
[3] Zainal, Sejarah pemikiran Aliran Kalam, (Padang: The Minang Kabau Pondation, 1997) h.  174
[4]  Ibid, Hal: 175
[5] Ibid, Hal: 176
[6] Nasution, Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah,(Jakarta:universitas Indonesia,1987),h. 77
[7] Nasution, op. cit., h.  65
[8] Ahmad Taufik dkk., Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisasi Islam, (Raja Grafindo Persada, 2005), h. 200

[9] Ibid, h. 200
[10] Ibid, h. 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar