Sabtu, 16 Januari 2016

Kejujuran




A.  PENTINGNYA KEJUJURAN
1. Hadits
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ. (رواه ابوداود)

Artinya: “Abu Umamah r. a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “saya dapat menjamin suatu rumah dikebun syurga untuk orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar. Dan menjamin suatu rumah dipertengahan syurga bagi orang yang tidak berdusta meskipun bergurau dan menjamin suatu rumah dibagian tertinggi dari syurga bagi orang yang baik budi pekertinya.” (H. R. Abu Daud).

2.    Syarah Hadits
Hadits ini menerangkan tiga perilaku penting yang mendapatkan jaminan syurga dari Rasulullah SAW bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja, ketiga perilaku ini harus diiringi berbagai kewajiban lainnya yang telah ditentukan Islam. Ketiga perilaku tersebut adalah:
a.    Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar.
Berdebat atau berbantah-bantahan adalah suatu pernyataan dengan maksud untuk menjadikan orang lain memahami suatu pendapat atau mengurangi kewibawaan lawan debat dengan cara mencela ucapannya sekalipun orang yang mendebatnya itu tidak tahu persis permasalahan karena kebodohannya. Dan yang lebih ditonjolkan dalam berdebat keegoannya sendiri sehingga ia berusaha mengalahkan lawan debatnya dengan berbagai cara.
Sebenarnya, tidak semua bentuk perdebatan dilarang dalam Islam, apalagi kalau berdebat dalam mempertahankan akidah. Hanya saja, perdebatan seringkali membuat orang lupa diri, terutama kalau perdebatannya dilandasi oleh keegoan masing-masing, bukan didasarkan pada keinginan untuk mencari kebenaran.
Tidak sedikit orang yang memiliki ego sangat tinggi dan tidak mau dikalahkan oleh orang lain ketika berdebat walaupun dalam hatinya ia merasa kalah. Tipe orang seperti itu biasanya selalu berusaha untuk mempertahankan idenya dengan cara apapun.
Adapun dalam menghadapi orang yang selalu ingin menang dalam perdebatan Nabi SAW menganjurkan untuk meninggalkannya dan membiarkannya beranggapan bahwa dia menang dalam perdebatan tersebut.
b.    Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau.
Berdusta adalah menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dusta sangat dilarang dalam Islam, karena selain merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain. Sebaliknya, Islam sangat menghargai orang yang bersifat jujur walaupun dalam bercanda. Orang-orang yang selalu jujur, sekalipun dalam bercanda sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas dijamin Rasulullah SAW suatu tempat ditengah syurga.
c.    Orang yang baik budi pekertinya.
Sifat lain yang meninggikan derajat seseorang disisi Allah SWT dan pandangan manusia adalah akhlak terpuji. Sifat orang yang berakhlak mulia diantaranya adalah bermuka manis, berusaha untuk membantu orang lain dalam perkara yang baik, serta menjaga diri dari perbuatan jahat.
Orang yang memiliki sifat seperti itu selain dijanjikan syurga, juga dianggap sebagai orang yang paling baik diantara sesama manusia.[1]



B.  KEJUJURAN MEMBAWA KEBAIKAN
1.    Hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا ( رواه البخارى ومسلم وابو داود والترمذى)   
Artinya: “hadits riwayat Abdullah Ibn Mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda, “sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing syurga, sesungguhnya jika seseorang senantiasa berlaku jujur, ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan mengiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta ia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (H. R. Bukhari).[2]

2.    Penjelasan Bahasa
Ar-Raghib mengatakan dalam kitabnya, Mufradat Al-Qur’an, bahwa pada dasarnya Shidq dan Kidzb itu sangat terkait erat dengan ucapan, baik dalam bentuk madhi, mustaqbal, dalam bentuk janji atau apapun.
Kedua kata ini dalam bentuk khabar artinya kembali kepada yang pertama. Karena bisa juga berarti lain, misalnya dalam bentuk pertanyaan dan keharusan. Shidq adalah persesuaian antara suara hati dengan ucapan yang keluar lewat mulut.
 Namun jika syarat persesuaian itu tidak ada maka tidak bisa dikatakan shidq. Tapi tidak shidq bukan lantas langsung bisa dikatakan kidzb, karena bisa juga ragu. Misalnya, pernyataan orang munafiq, “Muhammad adalah utusan Allah SWT”. Pernyataan ini benar jika dikatakan shidq, karena ucapan yang keluar dari mulut memang begitu.
Tapi benar juga dikatakan kidzb, karena tidak sama dengan yang dikatakan hati. Shiddiq, orang yang banyak berbuat shidq. Kedua kata ini terkadang digunakan untuk mengungkapkan keyakinan yang menjadi kenyataan. Misalnya, “benar dugaanku”, dan dalam bentuk pekerjaan, misalnya, “ia memperlihatkan keberanian dalam berperang”, “kamu telah membenarkan mimpi itu”. Inilah pendapat Ar-Raghib.
Sedangkan Jumhur mengatakan, “shidq adalah kesesuaian dengan kenyataan, sedangkan kidzb jika tidak sesuai”. Pendapat lain mengatakan, “shidq itu adalah kesesuaian dengan keyakinan, sedangkan kidzb jika tidak sesuai”.
 Birr, kata yang mempunyai cangkupan kebaikan secara luas. Tapi kata ini dipakai untuk mengungkapkan amalan yang tulus dan terus menerus. Taharra asy-syaia, berarti sengaja dan memang bertujuan demikian. Fujuri, kecendrungan kepada kerusakan dan dorongan kearah maksiat. Kata ini merupakan kata yang mewakili segala bentuk kejahatan.[3]

3.    Syarah Hadits
Dalam hadits ini mengandung isyarat bahwa siapa yang berusaha untuk jujur dalam perkataan akan menjadi karakternya dan barang siapa sengaja berdusta dan berusaha untuk berdusta maka dusta akan menjadi karakternya. Dengan latihan dan upaya untuk memperoleh akan berlanjut sifat-sifat baik dan buruk.
Hadits diatas menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa orang yang jujur ke Jannah, serta menunjukkan akan besarnya keburukan dusta dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka.
Sebagimana diterangkan hadis diatas, bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan kepada orang yang jujur, baik didunia maupun diakhirat. Ia akan dimasukkan kedalam surga dan mendapat gelar terhormat, yaitu siddiq, artinya orang yang sangat jujur dan benar. Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang yang selalu berlaku jujur dan selalu menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang yang bertakwa. Sebagaimana terdapat dalam surat Az-Zumar ayat 33 :
Ï%©!$#ur uä!%y` É-ôÅ_Á9$$Î/ s-£|¹ur ÿ¾ÏmÎ/   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqà)­GßJø9$# ÇÌÌÈ  
Artinya: “Dan orang-orang yang membawakebenaran  (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Hal itu sangat pantas diterima oleh mereka yang jujur dan dipastikan tidak akan berkhianat kepada siapa saja. Baik kepada Allah SWT, sesama manusia, maupun  dirinya sendiri. Orang yang jujur akan melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullah SAW, karena hal itu merupakan janjinya kepada Allah SWT ketika mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dengan kata lain, orang yang jujur, akan menjadi orang yang paling taat kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat, disebutkan tentang seorang badui yang meminta nasehat kepada Rasulullah SAW. Beliau hanya berkata “jangan berbohong”. Perkataan Rasulullah SAW terus terngiang-ngiang ditelinga sang badui sehingga ketika ia akan melakukan perbuatan tercela, maka ia akan berpikir pasti Rasulullah SAW akan menanyakan dan ia harus jujur. Diapun tidak jadi melakukan perbuatan terlarang itu.
Jika seseorang berusaha untuk berkata benar, maka kebaikan bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga orang lain. Begitupun sebaliknya, jika seseorang berkata dusta, perbuatannya selain merugikan orang lain pasti juga merugikan diri sendiri.
Karena tidak akan ada lagi yang mau mempercayainya. Padahal kepercayaan merupakan salah satu modal utama dalam menempuh kehidupan didunia.[4]
Shidq atau jujur adalah kemuliaan diantara banyak kemuliaan lain dan merupakan dasar dari segala perilaku, dimana disiplin bermasyarakat dan kerapian segala permasalahan juga didasarkan pada jujur ini. Jujurlah yang mampu menjalankan permasalahan dengan baik. Orang yang punya sikap ini akan mendapatkan derajat yang tinggi dimata umat manusia sekalian.
Kejujuran adalah ukuran kepercayaan mereka, perkataan jujur menurut mereka derajat paling disenangi, menurut para pejabat pemerintahan bicara jujur merupakan kalimat kunci untuk dihormati dan menurut para hakim merupakan kunci kesaksian untuk diterima.
Jujur bisa dalam ucapan, keyakinan dan amal perbuatan. Jujur dalam ucapan adalah adanya kesesuaian dengan hati nuraninya, sesuai dengan kenyataan atau sesuai dengan keduanya.
Kata ini merupakan tuntutan kepada kita untuk berkata sesuai dengan pendirian, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan tidak membual saja. Jika kita berkata tentang masa lalu, maka katakanlah sebenarnya, jika berkata tentang apa yang kita niatkan maka jadikanlah ucapan kita itu sesuai dengan niat. Jika kita berjanji maka jadikanlah niat untuk memenuhi itu selalu berkait erat dengan keinginan yang kuat.
Dan janganlah kita meminta penjelasan tentang suatu masalah padahal kita telah mengerti hanya agar pertanyaan kita itu didengar orang-orang yang mendengar demi kepentingan kita sendiri. Jangan menuntut pembantu kita untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya kita sendiri telah tahu bahwa itu tidak akan terlaksana atau bahkan kita telah menyinggung hal itu sebelumnya.

Jujur dalam keyakinan adalah apa yang diyakini itu hendaknya sesuai dengan dasar yang ada dalam kenyataan. Didalam kenyataan itu ada illah yang satu, maha kuasa, menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, menciptakan dan mnegembalikan ke bentuk semula. Karena itu janganlah kita berkeyakinan bahwa Ia mempunyai sekutu.
Di alam kenyataan ada juga Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT, karenanya yakinilah risalah yang ia bawa. Di alam kenyataan ini ada kezhaliman dan keadilan umat, maka dari itu yakinilah apa yang telah disaksikan oleh alam kenyataan ini. Dan begitu seterusnya. Jujur dalam keyakinan pada mulanya menuntut untuk lebih banyak mengetahui secara mendalam tentang keyakinan itu sendiri, menghadirkan bukti-bukti fisik dan logika, dan membuang jauh-jauh syubhat.
Jujur dalam amal perbuatan adalah adanya kesesuaian apa yang tampak diluar tubuh dengan konsep yang ada didalam jiwa. Dengan kesesuaian ini maka ia menjadi sangat tulus dalam berbuat, niatnya hanya untuk kemaslahatan, tidak disusupi unsur-unsur kemunafikan maupun riya dan tidak merasa puas dengan tujuan yang seadanya saja.
Misalnya, orang yang hendak menemui seorang pembesar, tentunya ia akan menunjukkan rasa cintanya kepada pembesar itu, yang pada ujungnya ia akan membuat akses untuk kepentingannya. Seperti juga, orang yang berjihad hanya untuk menjilat dan mendapatkan pengakuan saja, atau karena pangkat dan kehormatan.
Semua yang telah dikemukakan diatas tercakup dalam satu tema, yakni jujur. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jujur itu menunjukkan kepada amal kebaikan dan mengarah pada halaman kebaikan yang sangat luas. Karena itu jujur adalah tempat berseminya segala bentuk kemuliaan, batang pohonnya dan cabang-cabangnya.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah iman kepada Allah SWT dan percaya kepada para Rasulullah SAW serta wahyu-Nya itu hanya satu dari cabang kejujuran? Orang yang benar tentu akan berbuat untuk kebaikan dan menegakkan amal kebaikan. Amal kebaikan adalah jalan menuju ke syurga, bahkan merupakan kunci pintunya.
Rasulullah SAW juga menjelaskan satu dari berbagai masalah penting yang berkaitan dengan perilaku manusia, yaitu metoda untuk mendidik dan membentuk perilaku, memperkuat dan memperteguhnya didalam jiwa, sekaligus menyejajarkannya menjadi watak. Karena itu hendaklah dengan metoda itu pilihan yang dijatuhkan adalah kepada ucapan yang baik atau amal perbuatan yang mulia, dikerjakan secara berulang-ulang sehingga benar-benar membekas didalam jiwa.
Dari pembiasaan ini ia dituntut untuk menentukan jalan hidupnya, yang dengan itu pula goresan yang ditorehkan. Dan dengan seringnya goresan itu akan semakin membekas dalam setiap kali ditambahkan amal kebaikan. Dengan goresan itu perilaku dan kemuliaan yang menciptakan segala bentuk amal kebaikan bisa diciptakan dengan mudah.
Maka barangsiapa yang menyimpan keinginan untuk menjadikan jujur ini sebagai perilaku, watak, agama dan tabiatnya hendaklah selalu berkata dan berbuat yang benar, dan berkomitmen untuk menjalaninya. Ketika perilaku itu telah mendapatkan kejujuran maka dengan perilaku itu ia akan menjadi orang yang shiddiq.
Orang yang berkeinginan untuk menjadi seorang pemberani dan pahlawan maka terlebih dahulu ia menumbuhkan semangat untuk bergelut melawan kesusahan yang setiap kali datang, dan berani memerangi segala keinginan yang setiap kali muncul pada dirinya.
Jika sudah demikian maka keberanian adalah perilakunya. Dan barangsiapa yang menghendaki dirinya mulia hendaklah ia mengorbankan hartanya setiap kali penyeru kebaikan meneriakkan pengorbanan itu.
Makna Allah SWT menuliskan orang yang memilih jujur dan menjadikannya sebagai orang yang jujur adalah menuliskan itu semua didalam daftar-Nya, menghisabnya bersama orang-orang yang jujur dan mengumumkannya dilangit yang tinggi, sebagai ungkapan rasa senang dan untuk mengangkat nama baiknya.
Dan satu lagi, makna Allah SWT menuliskan itu adalah Allah SWT menurunkan wahyu kedalam hati hamba-hamba-Nya itu agar dengan cara itu mereka balik menghormati dan mengagungkan-Nya.[5]

C.   Orang yang Jujur Mendapat Pertolongan Allah
1.    Hadits
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَّلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ : مَنْ اخذ أمْوَالَ النَّاسَ يُرِيْدُأَدَاءَ هَاأَدَى اللَهُ عَنْهُ وَمَنْ اَخَذَهَا يُرِيْدُ اِتْلَا فَهَا اَتْلَفَهُ اللَهُ . (رواه البخارى وابن ماجه وغيرهما).
Artinya: Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :  Barang siapa yang menggunakan harta orang lain (untuk berdagang) dan ia ingin mengembalikannya, maka Allah akan (membantu) mengembalikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud untuk merusaknya, Allah pun akan merusaknya,.(H.R Bukhari dan Ibnu Majah dan selain keduanya).

2.    Syarah Hadits
Dalam kehidupan masyarakat, ada sebagian orang yang suka meminjam uang atau barang kepada orang lain untuk digunakan sebagai penunjang usahanya. Hal itu dibolehkan dalam Islam dan Allah SWT akan menolong mereka kalau mereka berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk mengembalikan kepemiliknya.
Peminjamnya tidak berniat menipu pemilik modal, digunakan untuk bersenang-senang, sehingga uang tersebut  habis begitu saja  dan ia sendiri tidak memiliki uang untuk menggantinya.
Oleh karena itu, setiap peminjam modal hendaknya ingat, harta tersebut adalah amanat yang dipercayakan oleh pemilik kepadanya. Dalam islam, umat-Nya selalu diingatkan untuk menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Sebaliknya, apabila ia bermaksud berkhianat, yakni meminjam barang atau harta tersebut untuk dirusak atau sengaja tidak akan mengembalikannya, Allah SWT akan membalas perbuatan zalim tersebut.
Selain itu, bagi mereka yang memiliki tabiat jelek seperti itu, tidak akan pernah lagi dipercaya oleh orang lain. Jika terdesak oleh kebutuhan, tidak ada lagi yang mau menolongnya atau mencoba untuk menitipkan suatu amanat kepadanya.
Hal itu menunjukkan bahwa penunaian suatu amanah sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun khianat (tidak menunaikan amanah) telah disepakati sebagai perbuatan tercela, baik dalam pandangan Allah maupun pandangan manusia.
Berdasarkan hadis diatas, sudah jelas  bahwa Allah SWT akan menolong orang-orang yang jujur, dalam hal ini jujur untuk benar-benar mengembalikan pinjaman yang sudah dipinjam.[6]
           



[1] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, ihya ulum-addin (Semarang: Thaha Putra, -), h. 114.
[2] Imam Nawawi, Ringkasan Riyadhush Shalihin(Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006) , h. 412.

[3] Abdul Qadir Ahmad ‘Atha’., Adabun Nabi: Meneladani Akhlak Rasulullah SAW:: Pustaka Azam: 2002). Hal. 178.


[4] Syafe’I Rahmat, Al-Hadis, (Bandung ; CV. Pustaka Setia, 2003) hlm 81

[5] Abdul Qadhir Ahmad ‘Atha., Op.Cit., 182.

[6]Rahmat Syafe’I op.Cit, hlm. 85